.
DAFTAR ISI
.
KATA
PENGATAR ………………………………………………………………. i
DAFTAR
ISI ………………………………………………………………………. ii
A. Pengertian Ijtihad
………………………………………………………………. 1
B.
Dasar Hukum Ijtihad …………………………………………………………….. 2
C.
Kedudukan Dan Fungsi Ijtihad ………………………………………………….. 3
D.
Macam-macam Ijtihad …………………………………………………………. 3
E.
Syarat-syarat Mujtahid …………………………………………………………… 4
F.
Tingkat Kekuatan Ijtihad ……………………………………………………….. 4
PENUTUP
………………………………………………………………………… 6
DAFTAR
PUSTAKA ……………………………………………………
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. Pengertian Ijtihad
1.
Menurut Ahmad bin Ali al-Mugri al-Fayumi menjelaskan bahwa Itihad secara bahasa
adalah : “Pengerahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan
pencarian suatu upaya sampai kepada ujungyang ditujunya”.
2.
Menurut al-Syaukani, arti ethimologi Ijtihad adalah : “Pembicaraan mengenai
pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.“
3.
Menurut al-Qur’an, arti Ijtihad dalam artian jahada terdapat di dalam al-Qur’an
surat al-Nahl ayat 38, surat al-Nur ayat 53 dan surat Fathir ayat 42. Semua
kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dam kekuatan (badzl al-wus’I wa
al-thaqoh), atau juga berarti berlebihan dalam besumpah (al-mubalaghat fi
al-yamin).
4.
Menurut al-Sunnah, kata Ijtihad terdapat sabda nabi yang artinya “pada waktu
sujud, bersungguh-sungguhlah (yajtahid) pada sepuluh hari terakhir (bulan
ramadhan).
5.
Menurut para ulama pengertian Ijtihad secara bahasa mempunyai pendapat yang
sama tetapi istilah yang meliputi hubungan Ijtihad dengan fiqih, Ijtihad dengan
al-Qur’an, Ijtihad dengan al-Sunnah, dan Ijtihad dengan dalalah nash.
6.
Menurut Abu Zahirah, secara istilah, arti Ijtihad adalah “Upaya seorang ahli
fiqih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amaliah yang diambil
dari dalil-dalil yang rinci.
7.
Menurut al-Amidi Ijtihad adalah “Pengerahan segala kemampuan untuk menentukan
sesuatu yang Zhanni dari hukum-hukum syara.
8.
Menurut Ibrahim Hosen bahwa cakupan Ijtihad hanyalah bidang fiqih, dan pendapat
yang menyatakan bahwa Ijtihad secara istilah juga berlaku dibidang akidah atau akhlak,
jelas tidak bisa dibenarkan.
9.
Menurut Harun Nasution, pengertian Ijtihad hanya dalam lapangan fiqih adalah
Ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas, menurutnya, Ijtihad juga
berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.
10.
Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalah qiyas untuk mengeluarkan (
istinbat ) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.
11.
Hasby Ash-Sidiqy mengemukakan bahwa ijtihad adalah :”menggunakan segala
kemampuan untuk mencari suatu hukum dengan hukum Syara’ dengan jalan zhan.
12.
Adapun ijtihad dalam keputusan hakim (pengadilan) adalah jalan yang diikuti
hakim dalam menetapan hukum, baik yang berhubungan dengan teks undang-undang
maupun dengan menginstinbatkan hukum yang wajib ditetapkan ketika ada nash.
Jadi
kesimpulan dari pengertian Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan
intelektual untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil – dalilnya.
B. Dasar Hukum Ijtihad
Para
fuqoha boleh melakukan Ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar
hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dasar
hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah Swt :
Artinya
:“ Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke arah
Masjidil Haram, sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari
Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.”
Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang
yang berada jauh dari Masjidil Haram, apabila akan shalat dapat mencari dan
menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal dan pikirannya
berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Dalam
sebuah hadits Nabi juga dijelaskan Mu’adz bin Jabal ketika diutus menjadi
gubernur di Yaman pernah berijtihad dalam memutuskan suatu perkara. Ketika itu
Mu’adz ditanya nabi Muhammad SAW :
“
Dengan apa engkau menjatuhakan hukum ?” Mu’adz menjawab,” Dengan kitab Allah (al-Qur’an)
jawab Mu’adz “ Rasulullah bertanya lagi “ Kalau engkau tidak dapat keterangan
dari Al-Qur’an ?“ Saya menggalinya dari sunnah Rasul.” Rasulullah pun bertanya,
“ Kalau engakau tidak mendapati, keteranagna dalam sunnah Rasululloh
SAW.?”Mu’adz menjawab,” Saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan
berputus asa. Rasulullah menepuk pundak Mu’adz bin Jabal menandakan
persetujuannya.
Nabi
Muhammad SAW.memberikan izin kepada orang yang hendak melakukan ijtihad, bahkan
Nabi memberikan dorongan kepada mereka. alau ijtihad itu dilakukan tepat
mengenai sasaran maka orang yang berijtihad mendapat dua pahala, apabila tidak
dia mendapat satu pahala. Nabi Saw. Bersabda: ”Hakim apabila berijtihad
kemudian dapat mencari kebenaran, maka ia mendapat dua pahala . Apabila ia
berijtihad kemudian ia tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (
HR. Bukhori dan Muslim )
Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, maka
ulama membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut :
a.
Wajib ‘Ain , bagi seseorang yang ditanya tentang satu peristiwa yang hilang
sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami
sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
b.
Wajib Kifayah, bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang tidak
dikhawatirkan akan hilang sementara mujtahid lain selain dirinya.
c.
Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi baik
ditanyakan atau tidak .
Dr.
Muhammad Madkur di dalam kitabnya Manahiju al-Ijtihad Fi Al-Islam menjelaskan
bahwa ijtihad dan berijtihad hukumnya adalah wajib bagi yang telah mengetahui
keahlian dan memenuhi syarat-syarat ijtihad.
C. Kedudukan dan fungsi Ijtihad
Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang
ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali
untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an
maupun hadits dengan tegas.
Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu
perlu dilaksanakan :
a. Pada
suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai
peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka
dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .
b. Pada
suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak
para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang
semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu
yang ditentukan.
c.
Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan
diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan
ijtihad.
D. Macam-macam Ijtihad
Secara
garis besar ijtihad dibagi kedalam dua bagian, yaitu ijtihad Fardhi dan Jami’i.
a.
Ijtihad fardhi adalah : ”Setiap ijtihad yang dilakukan oleh perseorangan atau
beberapa orang, namun tidak ada keterangan bahwa semua mujtahid lain
menyetujuinya dalam suatu perkara ( Tasyri’ Islami: 115)
Ijtihad
yang semacam inilah yang pernah dibenarkan oleh Rasul kepada Mu’adz ketika
Rasul mengutus beliau untuk menjadi qodhi di Yaman.
a.
Ijtihad Jami’i adalah : ”Semua ijtihad dalam suatu perkara yang disepakati oleh
semua mujtahidin.” ( Ushulu Tasyri’ :116 )
Ijtihad
semacam ini yang dimaksud oleh hadits Ali bin Abi Thalib pada waktu beliau
menanyakan kepada Rasul tentang suatu urusan yang menimpa masyarakat yang tidak
diketemukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketika
itu Nabi bersabda : ”Kumpulkanlah orang-orang yang berilmu dari orang-orang
mukmin untuk memecahkan masalah itu dan jadikanlah hal itu masalah yang
dimusyawarahkan diantara kamu dan janganlah kamu memutuskan hal itu dengan
pendapat orang seorang.” ( H.R. Ibnu Abdil Barr )
Disamping itu, Umar bin Khatab juga pernah berkata
kepada Syuraikh : ”Dan bermusyawarahlah ( bertukar pikiran ) dengan orang-orang
yang saleh.”
E. Syarat – syarat Mujtahid
a.
Mengetahui isi Al-Qur’an dan hadits yang bersangkutan denagn hokum itu,
meskipun tidak hapal diluar kepala.
b.
Mesti mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu
seperti Nahwu, Shorof, Ma’ani, Bayan, Bad’i, agar dengan ini mentafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an atau As-Sunnah dengan cara berfikir dengan benar.
c.
Mesti mengetahui ilmu usul fiqh dan qoidah-qoidah fiqh yang seluas-luasnya,
karena ilmu sebagai dasar berijtihad.
d.
Mesti mengetahui soal-soal ijma’, hingga tiada timbul pendapat yang
bertentangan dengan ijma’ itu.
e.
Mesti mengetahui nasikh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
f.
Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan: mana hadits yang sahih dan hasan,
mana yang dhoif, mana yang maqbul dan mardud.
g.
Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’i ( asrarusy syari’ah) yaitu qoidah-qoidah
yang menerangkan tujuan syara’ dalam meletakan beban taklif kepada mukallaf.
F. Tingkat kekuatan Ijtihad
Al-‘Allamah Abdullah Darraz mengatakan bahwa :
“Ijtihad adalah menghabiskan seluruh kemampuan dan memeberikan segala kekuatan
pikiran. Hal itu dilaksanakan untuk memperoleh hukum syar’i dan menerapkannya
yakni menetapkan hukum yang telah ditetapkan atas tiap-tiap kaidah, seperti
menetapkan kaidah segala yang tidak dilarang syara’. Ijtihad ( memperoleh hukum
) hanya dapat dilaksanakan oleh ulama – ulama yang mempunyai keahlian yang
sempurna dalam urusan ijtihad. Ijtihad mentatbiqkan hukum dan seluruh orang yang
memiliki ilmu yang sudah dalam tentu dapat mengerjakannya. Dan disepakati bahwa
ijtihad ini tiada putus – putusnya sepanjang zaman.”
Seorang
ahli fiqh yang menghabiskan tenaga dan pikirannya untuk memperoleh persangkaan
kuat terhadap suatu hukum agama dengan jalan istinbat dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah, atau dari suatu dalil yang dibenarkan syara’, dinamai mujtahid.
Ringkasnya ijtihad itu ada dua tingkatan :
a.
Ijtihad Darakil Ahkam ( menghasilkan hukum yang belum ada )
b.
Ijtihad Tatbiqil Ahkam ( menerapkan hukum atau kaidah atas tempat yang
menerimanya)
PENUTUP
Puji syukur ke Hadirat Allah Swt. yang telah
memberikan segala kenikmatan baik nikmat Iman maupun Islam dan sehat wal’afiyat
sehingga kami dapat meyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada baginda alam, yakni Nabi Muhammad Saw. beserta
keluarga-Nya , sahabat-Nya, dan kita sebagai umat-Nya.
Kami
sebagai penyusun makalah ini mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu terselesaiknnya makalah ini, terutama kepada dosen mata kuliah
Ushul Fiqh II yang telah memberikan sebagian ilmunya untuk penyusunan makalah
ini.
Kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi amal shaleh bagi
seluruhnya. Amin.